Indonesia Sakatulis news- Di tengah semarak perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-79, ada sebuah kisah yang jarang diungkapkan, namun memukau dengan ketajaman dan kepedihan. Suatu hari, Sukarno – jurnalis legendaris yang kemudian menjadi presiden – mengibarkan bendera kemerdekaan dengan gaya flamboyan dan semangat tak tertandingi. Namun, cerita ini tidak berakhir di situ. Di balik sorak-sorai perayaan dan peringatan yang megah, ada sisi kelam dari jurnalisme yang kini terasa seperti anjing liar di tengah kota yang berantakan.*
Hari ini, jurnalis – yang dulunya diibaratkan sebagai pahlawan penuntut kebenaran – berada di posisi yang lebih mirip dengan anjing liar yang menggigit sisa-sisa kotoran dari para pemimpin korup. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan susah payah kini tampak dikhianati oleh realitas pahit di mana harga jurnalis seperti dibayar dengan amplop penuh kotoran. Mereka tidak lagi memegang pena dengan bangga, melainkan menggali kotoran politik yang kotor dan menjijikkan.*
"Jurnalisme kami adalah bagian dari cerita kemerdekaan,” kata seorang jurnalis yang putus asa dengan nada penuh kepedihan. “Namun, hari ini kami hanya menjadi anjing liar yang memakan tai dari hasil amplop yang hina. Kemerdekaan yang kami cari dan perjuangkan kini hanya tersisa dalam bayang-bayang amplop yang penuh kotoran.”ungkapnya
Di hari perayaan ini, pemandangan tersebut menjadi cerminan kelam dari kemerdekaan yang tak sepenuhnya bebas. Jurnalis yang dulunya diharapkan sebagai penjaga kebenaran kini terjebak dalam kekacauan, terpaksa beradaptasi dengan kondisi yang memalukan dan tidak adil.*
Dengan harapan yang pudar dan semangat yang tertahan, para jurnalis tetap berjuang di tengah rutinitas yang penuh ketidakadilan. Mereka seperti anjing liar yang menari di tengah kotoran, berusaha menggali kebenaran di tengah lumpur kepentingan dan korupsi. Dan di sini, di tengah perayaan kemerdekaan yang megah, kisah mereka mungkin adalah bagian yang tak diungkapkan dari cerita besar tentang perjuangan bangsa.
0 Komentar