Di suatu malam yang penuh asap rokok dan gelas-gelas kopi kosong di sudut kafe pinggiran kota Garut Jawa barat , aku bertanya pada diri sendiri, apa arti jurnalisme saat ini? Di era di mana suara gemuruh kemerdekaan bergema di setiap sudut jalan, para jurnalis, orang-orang yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membongkar kebenaran, malah menjadi bayangan buram di bawah kilau lampu sorot politik dan iklan. Senin 12 Agustus 2024
Kau tahu, jurnalisme dulu adalah hal yang sakral. Ia adalah pembawa obor kebenaran, penjaga pintu gerbang informasi yang mengantarkan kita dari kegelapan menuju cahaya. Namun sekarang, apa yang terjadi? Mereka yang seharusnya berteriak lantang di tengah keramaian justru memilih diam, terbungkam oleh tawaran sponsor atau ancaman kehilangan pekerjaan. Jurnalisme yang dulunya penuh gairah kini berubah menjadi komoditas dingin yang diperjualbelikan seperti barang di pasar loak.
Aku duduk di sana, menghisap rokok dan memandang keluar jendela, melihat sekelompok pemuda yang merayakan kemerdekaan dengan kembang api dan tawa riang. Aku tidak bisa menghindar dari pertanyaan besar yang bergelayut di pikiranku: di manakah para jurnalis dalam semua ini? Apakah mereka sibuk menulis ulang siaran pers? Atau mereka sudah terlalu letih untuk mengangkat pena?
Kemerdekaan yang kita rayakan dengan penuh semangat ini, seharusnya menjadi saat di mana jurnalisme bersinar paling terang. Namun, yang kita dapatkan hanyalah artikel dangkal yang lebih peduli dengan klik dan share daripada makna sebenarnya. Jurnalisme yang dulu berdiri sebagai benteng terakhir melawan kebohongan, kini roboh di bawah beban tuntutan komersial dan sensor halus yang dipaksakan oleh penguasa.
Aku teringat pada Hunter S. Thompson, sang legenda Gonzo, yang pernah berkata bahwa jurnalisme adalah seni mengganggu orang-orang yang nyaman dan memberi kenyamanan pada mereka yang terganggu. Namun, di zaman ini, siapa yang masih berani mengganggu? Siapa yang berani menantang kekuasaan, ketika harga yang harus dibayar adalah kehilangan pekerjaan atau bahkan lebih buruk?
Malam semakin larut, dan suara kembang api mulai mereda. Namun, kegelisahan ini tidak akan hilang. Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita akan membiarkan jurnalisme mati di tengah-tengah kemerdekaan ini? Atau kita akan kembali ke akar, menghidupkan kembali semangat kebenaran yang sejati? Mungkin jawabannya terletak pada sekelompok kecil jurnalis pemberani yang masih berani melawan arus, yang masih percaya bahwa kebenaran adalah sesuatu yang layak diperjuangkan, meskipun dunia mengatakan sebaliknya.
Tapi untuk malam ini, aku hanya bisa merenung, membiarkan rokok terakhirku habis, dan berharap bahwa jurnalisme suatu hari nanti akan bangkit dari abu dan menemukan kembali tujuannya. Hingga saat itu tiba, kita hanya bisa berharap dan berdoa agar kemerdekaan ini tidak menjadi kemerdekaan yang kosong tanpa kebenaran.
0 Komentar