Indonesia Selasa 20 Agustus 2024 —setelah merayakan Agustus kemerdekaan dengan semarak yang sama: bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, pidato megah para pejabat yang memuja kemerdekaan, dan ribuan konten digital yang membanjiri media sosial. HUT RI ke-79—sebuah perayaan tahunan yang begitu mulia, setidaknya di mata mereka yang masih percaya pada nilai-nilai itu. Namun, di balik semua kemegahan itu, ada kisah yang jarang terungkap, sebuah perjalanan sial yang dialami oleh mereka yang berada di garis depan: para jurnalis._
Di era digital ini, kita semua dibanjiri dengan informasi, tetapi ironisnya, para penyampai informasi itu sendiri sering kali terabaikan, terjebak dalam labirin birokrasi yang tidak kenal ampun. _Kemerdekaan? Ya, kita merayakannya setiap tahun, tetapi apakah ada kemerdekaan sejati bagi mereka yang bekerja keras hanya untuk mendapatkan apresiasi yang sering kali datang terlambat, jika datang sama sekali?_
Aku duduk di sebuah kafe, laptop terbuka di depan, mencoba merangkai kata-kata yang bisa menyelamatkan karier seorang jurnalis yang sudah terlalu lelah dengan janji-janji manis._ Di luar, suara-suara perayaan mulai terdengar, seperti ironi yang menggema di kepalaku. Tahun ini, Indonesia merayakan 79 tahun kemerdekaannya, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya: merdeka dari apa? Dari siapa? Dan yang lebih penting, siapa yang sebenarnya menikmati kemerdekaan ini?
Sementara publikasi-publikasi pemerintah bertebaran, memuja-muji pencapaian bangsa ini, ada jurnalis yang terpaksa mengais-ngais penghargaan dari birokrat yang tak peduli. _Mereka, para pejabat itu, terlalu sibuk dengan seremonial dan anggaran untuk memberi perhatian pada kami yang menghidupkan berita. Apresiasi? Itu barang langka yang harganya lebih mahal daripada kopi luwak yang disajikan di kafe ini.
Di era digital, jurnalisme berubah menjadi medan pertempuran yang jauh lebih kejam. Satu artikel, satu berita, harus bersaing dengan ribuan meme, video viral, dan postingan Instagram influencer yang tampaknya lebih penting di mata publik._ Dan di tengah semua itu, kami—jurnalis—terjebak dalam sebuah roda hamster yang berputar tanpa henti, mencoba mencari cara untuk tetap hidup dari serpihan apresiasi yang diberikan oleh birokrasi.
Seorang teman seprofesi bercerita tentang bagaimana dia harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan bayaran dari sebuah kantor pemerintah yang terlalu sibuk merencanakan acara 17 Agustus._ "Mereka bilang saya pahlawan informasi," katanya sambil tertawa pahit. "Tapi pahlawan macam apa yang bahkan tidak bisa membayar tagihan listriknya sendiri?"
Kemerdekaan bagi kami tidak terasa seperti kemenangan, tapi lebih seperti permainan yang selalu kami kalah._ Di satu sisi, ada kebebasan untuk menulis, untuk mengungkapkan kebenaran; di sisi lain, ada kekuatan-kekuatan tak terlihat yang menekan kami untuk tetap sesuai dengan narasi yang diinginkan oleh mereka yang berada di atas.
Aku menyelesaikan artikelku, menekan tombol ‘kirim’ dengan perasaan campur aduk._ Sialnya, aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya: menunggu. Menunggu hingga berita ini diambil, diterbitkan, diakui—atau malah diabaikan. Apresiasi yang kutunggu mungkin tidak akan pernah datang, tetapi begitulah hidup di dunia jurnalisme yang digerogoti oleh birokrasi dan dunia digital.
Dan sementara Indonesia merayakan 79 tahun kemerdekaannya, aku hanya bisa merenung: kemerdekaan seperti apa yang kita rayakan ketika mereka yang menghidupkan kata-kata ini terjebak dalam lingkaran sial yang tak berujung? _Kemerdekaan itu indah di permukaan, tetapi di bawahnya ada para jurnalis yang berjuang untuk tetap relevan, tetap hidup, dan tetap dipercaya di tengah badai informasi yang tak terkendali._
79 tahun, dan kita masih bertanya-tanya apa arti kemerdekaan itu sebenarnya. Untuk para jurnalis yang terjebak antara apresiasi birokrasi dan sialnya perjalanan di era digital, jawabannya mungkin lebih kabur daripada sebelumnya._ Di sinilah aku, menunggu jawaban yang mungkin tidak akan pernah datang, sambil melihat layar laptop yang mulai buram oleh lelah dan keputusasaan.
Aku menyelesaikan kopi terakhirku, merasa lebih pahit daripada biasanya. Dan di luar sana, kemerdekaan terus dirayakan—kemerdekaan yang indah bagi mereka yang beruntung, tapi sial bagi kami yang tertinggal di belakang.
0 Komentar