SEBUAH NEGARA BERDARAH—ANAK YATIM DICACI KARENA PISANG, 13 M PEJABAT RETRET DENGAN UANG RAKYAT



Kota ini berbau busuk. Bukan hanya dari got mampet atau bangkai tikus di sudut gang sempit, tapi dari sesuatu yang lebih dalam, lebih busuk, lebih membusuk—hati manusia. Aku melihatnya dalam video itu. Seorang bocah, tidak lebih tua dari remaja tanggung, ditelanjangi, diarak seperti penjahat perang. Tangan kecilnya menggenggam seikat pisang, harta karun yang tidak pernah sempat ia nikmati.

"Dasar maling!" teriak mereka.
"Kasih pelajaran, biar kapok!"

Dan mereka menyoraki, merekam dengan ponsel canggih, lalu pulang ke rumah masing-masing, membuka bungkus ayam goreng, menyuap nasi panas, sambil mengutuk moral generasi muda.

Tapi tunggu dulu.

Apa kau tahu di mana adiknya saat itu?

Di rumah. Kalau bisa disebut rumah. Sebuah gubuk yang lebih mirip sarang tikus daripada tempat tinggal manusia. Bocah kecil itu duduk di lantai tanah, menggigit bibirnya, menahan air mata karena perutnya yang kosong terasa seperti diremas tangan besi. Kakaknya sudah berjanji membawa makanan hari ini. Tapi yang datang bukan kakaknya. Yang datang adalah suara orang-orang yang tertawa di luar, mengutuk dan menghakimi.

Sementara itu, di tempat lain—jauh dari jalanan becek dan anak-anak kelaparan—para pejabat menikmati retret di Magelang. Anggaran? Rp 13 miliar.

TIGA BELAS MILIAR.

Apa yang mereka lakukan dengan uang sebanyak itu? Bertapa? Bersemedi mencari solusi untuk negara ini? Tidak. Mereka berseragam ala tentara, bermain perang-perangan dengan senjata plastik, mengikuti pelatihan kepemimpinan yang tak akan pernah mereka terapkan.

Rp 13 miliar untuk mengirim sekelompok orang ke hotel mewah, sementara di sudut lain negeri ini, seorang bocah harus memilih antara mencuri atau membiarkan adiknya mati perlahan karena kelaparan.

Ini bukan fiksi. Ini bukan dongeng murahan yang akan berakhir bahagia. Ini kenyataan. Ini potret dari negara yang katanya "gemah ripah loh jinawi," tapi hanya bagi mereka yang tahu cara mencuri dengan rapi—dengan dasi, dengan tanda tangan di atas kertas kontrak.

Anak itu mencuri pisang. Kesalahannya adalah dia tidak belajar dari para pejabat. Kalau saja dia lebih cerdik, dia bisa merampok dengan jas dan dasi, bisa menggondol miliaran tanpa satu pun orang yang berani mengaraknya di jalan.

Tapi dia hanya seorang bocah. Dan untuk seorang bocah miskin di negeri ini, takdirnya cuma dua: kelaparan atau dihukum.

Kita yang membiarkan ini terjadi. Kita yang menertawakannya sambil makan kenyang. Kita semua adalah bajingan.


Posting Komentar

0 Komentar